BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Secara bahasa, adzan bermakna i’lam yaitu pengumuman, pemberitahuan
atau pemakluman, Adapun secara syariat, adzan adalah pemberitahuan datangnya
waktu shalat dengan menyebutkan lafadz-lafadz yang khusus. Banyak hadits yang
datang menyebutkan keutamaan adzan dan orang yang menyerukan adzan (muadzin).
Di antaranya:
”Apabila
diserukan adzan untuk shalat, syaitan pergi berlalu dalam keadaan ia kentut
hingga tidak mendengar adzan. Bila muadzin selesai mengumandangkan adzan, ia datang
hingga ketika diserukan iqamat ia berlalu lagi…” (HR.
Al-Bukhari no. 608 dan Muslim no. 1267).
Berdasarkan sedikit uraian penulis
diatas, maka pada kesempatan ini, penulis akan membahas secara lebih rinci
mengenai Adzan yang akan penulis uraikan pada Bab selanjutnya.
B. BATASAN
MASALAH
Untuk mencegah
kesimpangsiuran dalam pembahasan nantinya, maka penulis memberikan batasan
masalah yang akan dibahas nantinya, adapun batasan masalah tersebut ialah :
1.
Makna
Adzan, keutamaan Adzan dan Muadzin, dan awal pensyaria’atan Adzan
2.
Hukum
Adzan.
C. TUJUAN
PENULISAN
Adapun tujuan
penulisan makalah ini adalah agar bias menadi referensi bagi mahasiswa/i IAIN
Bengkulu dalam memahami dan memaknai secara lebih mendalam mengenai Adzan, baik
dalam segi makna maupun hokum adzan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. MAKNA
ADZAN, KEUTAMAAN ADZAN DAN MUADZIN, DAN AWAL PENSYARIATAN ADZAN
1. Makna
Adzan
Secara bahasa, adzan bermakna i’lam
yaitu pengumuman, pemberitahuan atau pemakluman, sebagaimana disebutkan dalam
Mukhtarush Shihhah (hal. 16), At-Ta’rifat oleh Al-Jurjani (hal. 23), dan
selainnya. Allah k berfirman:
”Dan
inilah suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari
haji akbar…” (At-Taubah: 3)
Adapun secara syariat, adzan adalah
pemberitahuan datangnya waktu shalat dengan menyebutkan lafadz-lafadz yang
khusus. (Fathul Bari 2/102, Al-Mughni Kitabush Shalah, bab Al-Adzan)
Abul Hasan Al-Mawardi menerangkan,
asal adzan ini adalah firman Allah SWT:
”Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kalian diseru untuk mengerjakan shalat pada
hari Jum’at maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah…”
(Al-Jumu’ah: 9)
Dan firman-Nya:
“Dan
apabila kalian menyeru mereka untuk mengerjakan shalat, mereka menjadikannya
buah ejekan dan permainan…” (Al-Maidah: 58)
Ibnu Mulaqqin berkata, “Ulama menyebutkan empat hikmah
adzan:
1. Menampakkan
syiar Islam
3. Pemberitahuan
telah masuknya waktu shalat dan pemberitahuan tempat pelaksanaan shalat.
4. Ajakan
untuk menunaikan shalat berjamaah.” (dinukil dari Taudhihul Ahkam min Bulughil
Maram, 1/513 )
2.
Keutamaan
Adzan dan Muadzin
Banyak hadits yang datang
menyebutkan keutamaan adzan dan orang yang menyerukan adzan (muadzin). Di
antaranya berikut ini:
Abu Hurairah mengatakan, Rasulullah
SAW bersabda:
إِذَانُوْدِيَلِلصَّلاَةِأَدْبَرَالشَّيْطَانُوَلَهُضُرَاطٌ،حَتَّىلاَيَسْمَعَالتَّأْذِيْنَ،فَإِذَاقَضَىالنِّدَاءَأَقْبَلَحَتَّىإِذَاثَوَّبَبِالصَّلاَةِأَدْبَرَ….
”Apabila
diserukan adzan untuk shalat, syaitan pergi berlalu dalam keadaan ia kentut
hingga tidak mendengar adzan. Bila muadzin selesai mengumandangkan adzan, ia
datang hingga ketika diserukan iqamat ia berlalu lagi…” (HR.
Al-Bukhari no. 608 dan Muslim no. 1267)
Dari Abu Hurairah juga, ia
mengabarkan sabda Rasulullah SAW:
لَوْيَعْلَمُالنَّاسُمَافِيالنِّدَاءِوَالصَّفِّالْأَوَّلِثُمَّلَمْيَجِدُواإِِلَّاأَنْيَسْتَهِمُوْاعَلَيْهِلاَسْتَهَمُوْا….
”Seandainya
orang-orang mengetahui besarnya pahala yang didapatkan dalam adzan dan shaf
yang awal kemudian mereka tidak dapat memperolehnya kecuali dengan berundi
niscaya mereka rela berundi untuk mendapatkannya…” (HR.
Al-Bukhari no. 615 dan Muslim no. 980)
Muawiyah berkata: Aku pernah
mendengar Rasulullah SAW bersabda:
الْمؤَذِّنُوْنَأَطْوَلُالنَّاسِأَعْنَاقًايَوْمَالْقِيَامَةِ
”Para
muadzin adalah orang yang paling panjang lehernya1 pada hari kiamat.”
(HR. Muslim no. 850)
Abu Sa’id Al-Khudri z mengabarkan
dari Rasulullah SAW:
لاَيَسْمَعُمَدَىصَوْتِالْمُؤَذِّنِجِنٌّوَلاَإِنْسٌوَلاَشَيْءٌإِلاَّشَهِدَلَهُيَوْمَالْقِيَامَةِ
”Tidaklah
jin dan manusia serta tidak ada sesuatupun yang mendengar suara lantunan adzan
dari seorang muadzin melainkan akan menjadi saksi kebaikan bagi si muadzin pada
hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari no. 609)
Ibnu ’Umar berkata: Rasulullah SAW bersabda:
يُغْفَرُلِلْمْؤَذِّنِمُنْتَهَىأََذَانِهِوَيَسْتَغْفِرُلَهُكُلُّرَطْبٍوَيَابِسٍسَمِعَهُ
”Diampuni bagi muadzin pada akhir
adzannya. Dan setiap yang basah ataupun yang kering yang mendengar adzannya
akan memintakan ampun untuknya.” (HR. Ahmad 2/136. Asy-Syaikh Ahmad Syakir t
berkata: “Sanad hadits ini shahih.”)
Ibnu Mas’ud z berkata: Ketika kami
bersama Rasulullah n dalam satu safar, kami mendengar seseorang menyerukan,
”Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Nabiyullah n bersabda, ”Dia di atas fithrah.”
Terdengar lagi seruannya, ”Asyhadu an laa ilaaha illallah.” ”Ia keluar dari api
neraka,” kata Rasulullah n. Kami pun bersegera ke arah suara seruan tersebut.
Ternyata orang itu adalah pemilik ternak yang mendapati waktu shalat ketika
sedang menggembalakan hewannya, lalu ia menyerukan adzan. (HR. Ahmad 1/407-408.
Guru kami Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t berkata, ”Hadits ini shahih di
atas syarat Syaikhain.” Lihat Al-Jami’ Ash-Shahih Mimma Laisa fish Shahihain,
2/56, 57)
Rasulullah SAW mendoakan para imam
dan muadzin:
اللَّهُمَّأَرْشِدِالْأَئِمّةَوَاغْفِرْلِلَمْؤَذِّنِيْنَ
”Ya
Allah berikan kelurusan bagi para imam dan ampunilah para muadzin.” (HR.
Abu Dawud no. 517 dan At-Tirmidzi no. 207, dishahihkan Al-Imam Al-Albani dalam
Al-Irwa’ no. 217, Al-Misykat no. 663)
Aisyah x berkata: Aku pernah
mendengar Rasulullah n bersabda:
الْإِمَامُضَامِنٌوَالْمُؤَذِّنُمُؤْتَمَنٌ،فَأَرْشَدَاللهُالْأَئِمّةَوَعَفَاعَنِالمْؤَذِّنِيْنَ
“Imam
adalah penjamin sedangkan muadzin adalah orang yang diamanahi, maka semoga
Allah memberikan kelurusan kepada para imam dan memaafkan para muadzin.”
(HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no.1669, dan hadits ini dishahihkan oleh
Al-Imam Al-Albani dalam Shahih
At-Targhib wat Tarhib no. 239)
3.
Awal
Pensyariatan Adzan
Ibnu Umar berkata, “Ketika awal
kedatangan kaum muslimin di Madinah, mereka datang untuk mengerjakan shalat
dengan memperkirakan waktu berkumpulnya mereka, karena tidak ada orang yang
khusus bertugas menyeru mereka berkumpul untuk shalat. Suatu hari mereka
mempercakapkan hal ini. Sebagian mereka berkata, ‘Kita akan menggunakan lonceng
seperti loncengnya Nasrani untuk memanggil orang-orang agar berkumpul untuk
mengerjakan shalat.’ Sebagian lain mengatakan, ‘Kita pakai terompet seperti
terompetnya Yahudi.’ Namun Umar mengusulkan, ‘Tidakkah sebaiknya kalian
mengutus seseorang untuk menyerukan panggilan shalat?’ Nabi SAW pun bersabda:
يَابِلاَلُ،قُمْفَنَادِبِالصَّلاَةِ
“Bangkitlah wahai Bilal,
kumandangkanlah seruan untuk shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 604 dan Muslim no.
835)
Dalam hadits Anas bin Malik z yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari ra (no. 603) juga disebutkan ada yang mengusulkan
untuk menyalakan api sebagai tanda ajakan shalat.
Namun semua usulan ditolak oleh
Rasululllah SAW karena ada unsur penyerupaan dengan orang-orang kafir.
Sementara kita dilarang tasyabbuh (menyerupai) dengan ashabul jahim (para
penghuni neraka) ini.
Dari hadits Ibnu Umar di atas, tampak bagi kita beberapa perkara:
1. Seruan
untuk berkumpul mengerjakan shalat baru disyariatkan di Madinah setelah
kedatangan Rasulullah n. Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa adzan telah
disyariatkan di Makkah atau pada malam Isra’, tidak ada satu pun yang shahih
sebagaimana dinyatakan oleh Al-Hafizh t dalam Fathul Bari (2/104).
2. Seruan
untuk shalat yang diperintahkan Rasulullah n kepada Bilal z bukanlah
lafadz-lafadz adzan yang kita kenal, karena lafadz-lafadz tersebut baru
dikumandangkan Bilal setelah Abdullah bin Zaid z bermimpi mendengar
lafadz-lafadz adzan.
Al-Qadhi Iyadh ra berkata,
“Disebutkan dalam hadits bahwa Umar mengisyaratkan kepada mereka untuk
mengumandangkan seruan. Ia berkata, ‘Tidakkah sebaiknya kalian mengutus
seseorang untuk menyerukan panggilan shalat?’ Zahir dari ucapan ini bahwa
seruan tersebut berupa pemberitahuan semata, bukan adzan yang khusus
sebagaimana yang disyariatkan. Tetapi berupa pemberitahuan untuk shalat,
bagaimana pun caranya.” (Al-Ikmal, 2/237)
Tentang awal pensyariatan adzan ini
juga disebutkan dalam hadits berikut ini:
Abu Umair bin Anas mengabarkan dari
pamannya seorang dari kalangan Anshar: Nabi n memikirkan bagaimana cara
mengumpulkan orang-orang untuk mengerjakan shalat berjamaah. Ada yang
mengusulkan pada beliau, ”Pancangkan bendera ketika telah tiba waktu shalat, sehingga
bila orang-orang melihatnya, mereka akan saling memanggil untuk menghadiri
shalat.” Namun usulan tersebut tidak berkenan di hati Rasulullah SAW.
Ada yang mengusulkan terompet,
namun Rasulullah n juga tidak berkenan menerimanya, bahkan beliau mengatakan,
”Itu perbuatan Yahudi.”
Ada yang usul lonceng, beliau
bersabda, ”Itu urusan Nasrani.”
Pulanglah Abdullah bin Zaid bin
Abdi Rabbihi z dalam keadaan hatinya dipenuhi pikiran tentang kegelisahan
Rasulullah n. Ketika tidur, ia bermimpi mendengar adzan3.
Di pagi harinya ia menemui
Rasulullah n untuk memberitakan mimpi tersebut, ”Wahai Rasulullah, aku berada
di antara tidur dan jaga ketika datang kepadaku seseorang lalu ia menunjukkan
adzan kepadaku.” Sebelumnya Umar ibnul Khaththab z telah bermimpi tentang adzan
namun ia menyembunyikannya (tidak memberitahukan tentang mimpinya) selama 20
hari. Setelahnya barulah Umar memberitakan mimpinya kepada Nabi n4. ”Apa yang
menghalangimu untuk memberitahukan mimpimu kepadaku?” tanya Rasulullah n kepada
Umar z. Kata Umar, ”Abdullah bin Zaid telah mendahului saya, saya pun malu.”
Rasulullah n bersabda, ”Wahai Bilal, bangkitlah, perhatikan apa yang diajarkan
Abdullah bin Zaid lalu ucapkanlah.” Bilal pun mengumandangkan adzan. (HR. Abu
Dawud no. 498, kata Al-Hafizh Ibnu Hajar t dalam Fathul Bari 2/107, ”Sanadnya
shahih.” Hadits ini dihasankan dalam Shahih Sunan Abi Dawud dan Al-Jami’ush
Shahih 2/62)
Dengan demikian, seruan untuk
shalat telah melewati tiga tahapan:
-
Pertama: Ketika awal
diwajibkan shalat di Makkah (tiga tahun sebelum hijrah), belum ada seruan untuk
shalat sama sekali. Hal ini terus berlangsung sampai Nabi n hijrah ke Madinah.
Pada masa itu, untuk berkumpul kaum muslimin hanya memperkirakan waktunya.
-
Kedua: Ada seruan umum
yang dikumandangkan Bilal untuk berkumpul guna mengerjakan shalat setelah
terjadi musyawarah Rasulullah n dan para sahabatnya, atas usulan Umar ibnul
Khaththab.
-
Ketiga:
Dikumandangkannya adzan yang syar’i setelah Abdullah bin Zaid mendengarnya dalam mimpinya.
B. HUKUM
ADZAN
Al-Imam An-Nawawi berkata tentang
pendapat ulama dalam masalah hukum adzan berikut iqamat, “Mazhab kami
(Syafi’iyyah) yang masyhur menetapkan hukum keduanya sunnah bagi setiap shalat,
baik yang mukim ataupun safar, baik shalat jamaah ataupun shalat sendiri.
Keduanya tidaklah wajib. Bila ditinggalkan, sah shalat orang yang sendirian
atau berjamaah. Demikian pula pendapat Abu Hanifah dan murid-muridnya, serta
pendapat Ishaq bin Rahawaih. As-Sarkhasi t menukilkannya dari jumhur ulama.
Ibnul Mundzir berkata, “Adzan dan iqamat wajib hukumnya dalam shalat berjamaah
baik di waktu mukim ataupun safar.” Al-Imam Malik menyatakan, “Wajib
dikumandangkan di masjid yang ditegakkan shalat berjamaah di dalamnya.”
Atha dan Al-Auza’i rahimahumallah
berkata, “Bila lupa iqamat, shalat harus diulangi.” Dalam satu riwayat dari
Al-Auza’I ra, “Orang itu mengulangi shalatnya selama waktu shalat masih ada.”
Al-‘Abdari ra berkata, “Hukum
keduanya sunnah menurut Al-Imam Malik t, dan fardhu kifayah menurut Al-Imam
Ahmad ra.”
Dawud ra mengatakan, “Keduanya
wajib bagi shalat berjamaah, namun bukan syarat sahnya.”
Mujahid berpendapat, “Bila lupa
iqamat dalam shalat ketika safar, ia harus mengulangi shalatnya.”
Al-Muhamili ra mengatakan, “Ahlu
zahir berkata bahwa adzan dan iqamat wajib bagi seluruh shalat, namun mereka
berbeda pendapat tentang keberadaannya apakah sebagai syarat sahnya shalat ataukah
tidak.” (Al-Majmu’, 3/90)
Di antara pendapat yang ada, maka
yang kuat dalam pandangan penulis adalah pendapat yang menyatakan wajib/fardhu
kifayah, dengan dalil-dalil berikut ini:
1. Hadits
Malik ibnul Huwairits z, ia berkata: Kami mendatangi Nabi SAW di Madinah dalam
keadaan kami adalah anak-anak muda yang sebaya. Kami tinggal di sisi beliau
selama 20 hari 20 malam. Adalah Rasulullah n seorang yang pengasih lagi
penyayang. Ketika beliau yakin kami telah merindukan keluarga kami, beliau
menanyakan tentang keluarga yang kami tinggalkan, maka kami pun
menyampaikannya. Beliau bersabda:
ارْجِعُوْاإِلَىأَهْلِيْكُمْ،فَأَقِيْمُوافِيْهِمْوَعَلِّمُوْهُمْوَمُرُوْهُمْ–
وَذَكَرَأَشْيَاءَأَحْفَظُهَاأَوْلاَأَحْفَظُهَا –وَصَلُّوْاكَمَارَأَيْتُمُوْنِيأُصَلِّي،فَإِذَاحَضَرَتِالصَّلاَةُفَلْيُؤَذِّنْلَكُمْأَحَدُكُمْوَلْيَؤُمَّكُمْأَكْبَرُكُمْ
“Kembalilah kalian menemui keluarga
kalian, tinggallah bersama mereka, ajari dan perintahkan mereka –beliau lalu
menyebut beberapa perkara ada yang aku ingat dan ada yang tidak–. Shalatlah
kalian sebagaimana cara shalatku yang kalian lihat. Bila telah datang waktu
shalat, hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan dan hendaknya
yang paling besar/tua dari kalian menjadi imam.” (HR. Al-Bukhari no. 628, 7246
dan Muslim no. 1533)
2. Hadits
Amr bin Salamah, di dalamnya disebutkan sabda Rasulullah SAW:
صَلُّواصَلاَةَكَذَافِيحِيْنِكَذَا،وَصَلُّواكَذَافِيحِيْنِكَذَا،فَإِذَاحَضَرَتِالصَّلاَةُفَلْيُؤَذِّنْأَحَدُكُمْوَلْيَؤُمَّكُمْأَكْثَرُكُمْقُرْآنًا
“Kerjakanlah oleh kalian shalat ini
di waktu ini dan shalat itu di waktu itu. Bila telah datang waktu shalat,
hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan dan hendaknya yang
mengimami kalian adalah orang yang paling banyak hafalan Qur’annya.” (HR.
Al-Bukhari no. 4302)
Ibnu Hazm ra berkata, “Dengan dua
hadits ini pastilah kebenaran pendapat yang mengatakan adzan itu wajib secara
umum bagi setiap shalat, dan bahwa adzan baru diserukan setelah masuknya waktu
shalat. Iqamat juga masuk dalam perkara ini.” (Al-Muhalla, 2/165)
Beliau juga berkata, “Di antara
yang berpendapat wajibnya adzan adalah Abu Sulaiman dan murid-muridnya. Kami
tidak mengetahui adanya hujjah sama sekali bagi yang berpendapat adzan itu
tidak wajib. Seandainya tidak ada dalil yang menunjukkan wajibnya adzan kecuali
penghalalan Rasulullah SAW terhadap darah orang-orang yang tinggal di sebuah
negeri karena tidak terdengar adzan diserukan di negeri tersebut, dihalalkan
harta mereka dan menawan mereka, niscaya ini sudah cukup untuk menyatakan
wajibnya. Pendapat ini merupakan kesepakatan yang diyakini oleh seluruh sahabat
g tanpa diragukan, maka ini merupakan ijma’ yang dipastikan kebenarannya.”
(Al-Muhalla, 2/166)
Ibnul Mundzir ra dalam Al-Ausath
(3/24) berkata, “Adzan dan iqamat adalah dua kewajiban bagi setiap (shalat)
berjamaah, baik dalam keadaan mukim (tidak bepergian/safar) maupun sedang
safar. Karena Nabi SAW memerintahkan agar adzan diserukan. Perintah beliau
menunjukkan wajib. Nabi SAW pernah memerintahkan Abu Mahdzurah agar menyerukan
adzan di Makkah dan beliau juga pernah menyuruh Bilal adzan. Semua ini
menunjukkan wajibnya adzan.”
Al-Imam Al-Albani ra berkata,
“Secara mutlak, tidak diragukan lagi batilnya pendapat yang mengatakan adzan
hukumnya mustahab. Bagaimana bisa dihukumi mustahab, sementara adzan termasuk
syiar Islam yang terbesar, yang mana dahulu Nabi n bila tidak mendengar seruan
adzan di daerah suatu kaum, beliau mendatangi mereka untuk memerangi mereka dan
melakukan penyerangan terhadap mereka. Sebaliknya bila mendengar adzan
diserukan di tengah mereka, beliau menahan diri dari memerangi mereka
sebagaimana disebutkan haditsnya dalam Shahihain dan selainnya. Telah pasti
pula adanya hadits shahih dari selain Shahihain yang berisi perintah untuk
mengumandangkan adzan. Yang namanya kewajiban bisa ditetapkan dengan yang lebih
sedikit dari apa yang telah disebutkan. Maka pendapat yang benar adalah adzan
hukumnya fardhu kifayah. Pendapat inilah yang dishahihkan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah t dalam Al-Fatawa (1/67-68 dan 4/20). Bahkan adzan diwajibkan
walaupun seseorang shalat sendirian sebagaimana akan disebutkan dalilnya.”
(Tamamul Minnah, hal. 144)
Di antaranya riwayat yang
dikeluarkan oleh Abu Dawud (no.1203), An-Nasa’i (no. 666), dan Ahmad (4/157)
dari hadits Uqbah bin Amir secara
marfu’:
يَعْجَبُرَبُّكُمْمِنْرَاعِيغَنَمٍفِيرَأْسِشَظِيةٍبِجَبَلٍ،يُؤَذِّنُبِالصَّلاَةِوَيُصَلِّي،فَيَقُوْلُاللهُ:
انْظُرُوْاإِلَىعَبْدِيْهَذَا،يُؤَذِّنُوَيُقِيْمُالصَّلاَةَ،يَخَافُمِنِّي،فَقَدْغَفَرْتُلِعَبْدِيوَأَدْخَلْتُهُالْجَنَّةَ
Rabb kalian kagum dengan seorang
penggembala kambing di puncak gunung yang mengumandangkan adzan untuk shalat
dan setelahnya ia menunaikan shalat. Allah k berfirman, “Lihatlah oleh kalian
hamba-Ku ini, ia adzan dan menegakkan shalat dalam keadaan takut kepada-Ku,
maka Aku ampuni hamba-Ku ini dan Aku masukkan ia ke dalam surga.” (Al-Imam
Al-Albani t berkata dalam Ash-Shahihah no. 41, “Hadits ini shahih.”)
Adapun iqamat, menurut Al-Imam
Malik, Asy-Syafi’i, dan seluruh fuqaha rahimahumullah, hukumnya sunnah
muakkadah, dan orang yang meninggalkannya tidak perlu mengulang shalatnya.
Sedangkan menurut Al-Auza’i, Atha’,
Mujahid, dan Ibnu Abi Laila, iqamat ini wajib, dan yang meninggalkannya harus
mengulangi shalatnya. Demikian pula pendapat ahlu zahir. Wallahu a’lam.
(Al-Ikmal, 2/232-234)
Yang rajih adalah pendapat yang
menyatakan iqamat hukumnya fardhu kifayah dalam shalat berjamaah, baik dalam
shalat mukim ataupun safar dengan dalil hadits Malik ibnul Huwairits z. Adapun
bagi orang yang shalat sendirian (munfarid) hukumnya mustahab, tidak wajib.
Dalilnya adalah hadits Salman :
إِذَاكَانَالرَّجُلُبِأَرْضِقِيّ،فَحَانَتِالصَّلاَةُفَلْيَتَوَضَّأْ،فَإِنْلَمْيَجِدْمَاءًفَلْيَتَيَمَّمْ،فَإِنْأَقَامَصَلَّىمَعَهُمَلَكَاهُ،وَإِنْأَذَّنَوَأَقَامَصَلَّىخَلْفَهُمِنْجُنُوْدِاللهِمَالاَيُرَىطَرْفَاهُ
“Apabila seseorang berada di padang
tandus, lalu datang waktu shalat hendaklah ia berwudhu. Bila ia tidak mendapati
air hendaklah ia bertayammum. Bila ia bangkit mengerjakan shalat, ikut shalat
bersamanya dua malaikat. Jika ia adzan dan shalat maka turut shalat di
belakangnya para tentara Allah yang tidak terhitung jumlahnya.” (HR.
Abdurrazzaq no. 1955. Al-Imam Al-Albani t mengatakan,”Sanad hadits ini shahih
sesuai syarat para imam yang enam.”; Ats-Tsamar, 1/145)
Ada beberapa
permasalahan seputar adzan yang cukup penting diketahui, di antaranya:
1.
Disunnahkan
beradzan dalam keadaan berdiri.
Ibnu Al Mundzir berkata: “Para ulama yang saya hafal, (mereka) sepakat, bahwa sunnah beradzan dengan berdiri”. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Bilal dalam hadits Abu Qatadah:
Ibnu Al Mundzir berkata: “Para ulama yang saya hafal, (mereka) sepakat, bahwa sunnah beradzan dengan berdiri”. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Bilal dalam hadits Abu Qatadah:
إِنَّالهَقَبَضَأَرْوَاحَكُمْحِينَشَاءَوَرَدَّهَاعَلَيْكُمْحِينَشَاءَيَابِلاَلُقُمْفَأَذِّنْبِالنَّاسِبِالصَّلاَةِ
“ Sesungguhnya Allah mencabut ruh-ruh kalian kapan
(Dia) suka, dan mengembalikannya kapan (Dia) suka. Wahai, Bilal! Bangun dan
beradzanlah untuk shalat.
[HR Al Bukhari].
Juga disunnahkan
menghadap kiblat. Syaikh Al Albani menyatakan: “Telah shahih dalil menghadap
kiblat dalam adzan dari malaikat, sebagaimana yang dilihat Abdullah bin Zaid Al
Anshari dalam mimpinya”.
2.
Disunnahkan
beradzan di tempat yang tinggi, agar lebih keras terdengar dalam menyampaikan
adzan. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits seorang wanita dari Bani Najjar yang
menyatakan:
كَانَبَيْتِيمِنْأَطْوَلِبَيْتٍحَوْلَالْمَسْجِدِوَكَانَبِلاَلٌيُؤَذِّنُعَلَيْهِالْفَجْرَ
Rumahku, dahuku termasuk rumah yang
tertinggi di sekitar masjid (nabawi), dan Bilal, dulu beradzan fajar di atas
rumah tersebut. [HR Abu Dawud
dan dihasankan Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil, hadits no. 229, hlm. 1/246].
3.
Muadzin
disunnahkan memalingkan wajahnya ke kanan dan ke kiri pada hayya ‘ala ash shalat
dan hayya ‘ala al falah (hai’alatain), berdasarkan hadits Abu Juhaifah yang
berbunyi:
أَنَّهُرَأَىبِلَالاًيُؤَذِّنُفَجَعَلْتُأَتَتَبَّعُفَاهُهَهُنَاوَهَهُنَابِاْلأَذَانِ
“Sesungguhnya Beliau melihat Bilal beradzan,
lalu aku melihat mulutnya disana dan disini mengucapkan adzan. [HR Al
Bukhari].
Dan dalam
riwayat Muslim dengan lafadz:
فَجَعَلْتُأَتَتَبَّعُفَاهُهَاهُنَاوَهَاهُنَايَقُولُيَمِينًاوَشِمَالاًيَقُولُحَيَّعَلَىالصَّلاَةِحَيَّعَلَىالْفَلاَحِ
Lalu mulailah
aku memperhatikan mulutnya diputar kesana dan kesini, yaitu ke kanan dan ke
kiri mengucapkan hayya ‘ala ash shalat, hayya ‘ala al falah.
Imam An Nawawi
menjelaskan, disunnahkan memalingkan wajah dalam hai’alatain ke kanan dan ke
kiri. Dalam tata cara memalingkan wajah, yang mustahab ada tiga cara, yaitu :
Pertama. Ini
yang paling benar dan telah ditetapkan ahli Iraq dan sejumlah ahli Khurasan
(dalam madzhab Syafi’i), bahwa memalingkan ke kanan dengan mengucapkan hayya
‘ala ash shalat, hayya ‘ala ash shalat, kemudian berpaling ke kiri dan mengucapkan
hayya ‘ala al falah, hayya ‘ala al falah.
Kedua. Berpaling
ke kanan dan mengucapkan hayya ‘ala ash shalat, kemudian kembali menghadap
kiblat, kemudian berpaling ke kanan lagi dan mengucapkan hayya ‘ala ash shalat.
Kemudian berpaling ke kiri dan mengucapkan hayya ‘ala al falah, lalu kembali
menghadap kiblat, kemudian berpaling ke kiri lagi dan mengucapkan hayya ‘ala al
falah.
Ketiga. Pendapat
Al Qafal, yaitu mengucapkan hayya ‘ala ash shalat satu kali berpaling kekanan,
dan satu kali berpaling ke kiri; kemudian mengucapkan hayya ‘ala al falah satu
kali berpaling ke kanan dan satu kali berpaling ke kiri.
4.
Disunahkan
meletakkan kedua jemari di telinga, sebagaimana hadits Abu Juhaifah dengan
lafadz:
رَأَيْتُبِلاَلاًيُؤَذِّنُُوَيُتْبِعُفَاهُهَاهُنَاوَهَاهُنَاوَإِصْبَعَاهُفِيأُذُنَيْهِوَرَسُولُالهَِصَلَّىالهَُعَلَيْهِوَسَلَّمَفِيقُبَّةٍلَهُحَمْرَاءَأُرَاهُ
Aku melihat Bilal beradzan dan memutar mulutnya ke
sana dan ke sini serta kedua jarinya di telinganya. [HR Ahmad dan At Tirmidzi, dan At Tirmidzi
mengatakan, bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani menshahihkannya di
dalam Irwa’ Al Ghalil, no. 230, hlm. 1/248].
Setelah
menyampaikan hadits ini, Imam At Tirmidzi berkata: “Inilah yang diamalkan para
ulama. Mereka mensunnahkan seorang muadzin memasukkan kedua jemarinya ke kedua
telinganya dalam adzan. Dan sebagian ulama menyatakan juga, di dalam iqamat
memasukkan kedua jemarinya ke kedua telinganya. Demikian ini pendapat Al
‘Auza’i”.
5.
Disunnahkan
mengeraskan suara dalam adzan [17], berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam
فَإِنَّهُلاَيَسْمَعُمَدَىصَوْتِالْمُؤَذِّنِجِنٌّوَلاَإِنْسٌوَلاَشَيْءٌإِلاَّشَهِدَلَهُيَوْمَالْقِيَامَةِ
Tidaklah
mendengar suara muadzin bagi jin dan manusia serta (segala) sesuatu, kecuali
memberikan kesaksian untuknya pada hari Kiamat. [HR Al Bukhari].
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian diatas maka dapat penulis tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
-
Secara bahasa, adzan
bermakna i’lam yaitu pengumuman,
pemberitahuan atau pemakluman, Adapun secara syariat, adzan adalah
pemberitahuan datangnya waktu shalat dengan menyebutkan lafadz-lafadz yang
khusus.
-
Ada empat hikmah adzan:
Menampakkan syiar Islam, Kalimat tauhid,
Pemberitahuan telah masuknya waktu shalat dan pemberitahuan tempat pelaksanaan
shalat, Ajakan untuk menunaikan shalat berjamaah.
-
Seruan untuk shalat
telah melewati tiga tahapan:
-
Pertama: Ketika awal
diwajibkan shalat di Makkah (tiga tahun sebelum hijrah), belum ada seruan untuk
shalat sama sekali. Hal ini terus berlangsung sampai Nabi n hijrah ke Madinah.
Pada masa itu, untuk berkumpul kaum muslimin hanya memperkirakan waktunya.
-
Kedua: Ada seruan umum
yang dikumandangkan Bilal untuk berkumpul guna mengerjakan shalat setelah
terjadi musyawarah Rasulullah n dan para sahabatnya, atas usulan Umar ibnul
Khaththab.
-
Ketiga:
Dikumandangkannya adzan yang syar’i setelah Abdullah bin Zaid mendengarnya dalam mimpinya.
-
Adapun
hukum dari Adzan menurut penulis adalah wajib/fardhu
kifayah, sebagaimana diperkuat oleh dalil-dalil yang telah penulis uraikan
sebelumnya.
B. KRITIK
DAN SARAN
Dalam penyajian
makalah ini, penulis sangat menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan
baik dalam penulisan maupun penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman sekalian guna perbaikan makalah
ini kedepannya. semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
thanks ya....
BalasHapusok.
Hapus