Rabu, 01 November 2017

MAKALAH IDEALISME MEDIA MASA

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Media adalah industri yang menghasilkan komoditas maka unsur komersial menjadi menonjol. Komersial adalah implikasi dari revolusi media yang mendorong media dengan visi ekonomi. Pihak yang menentukan proses komunikasi dari peliputan informasi, pengemasan informasi, hingga pemasaran informasi adalah pemilik modal, dimana kondisi ini berpengaruh pada visi suatu media. Dapat dikatakan bahwa idealisme media sangat bergantung pada pemilik modal, karena bentuk jurnalisme yang dikemas difokuskan dalam rangka menyiasati kesempatan pasar. Kepemilikan media lebih banyak dari medianya. Karena media adalah industry yang menghasilkan komoditas, maka unsur komersial menjadi menonjol.
Pemilik modal adalah pihak yang menentukan proses komunikasi dari peliputan informasi, pengemasan info, hingga pemasaran info. Sehingga banyak ditemukan media massa terutama televisi akan lebih berpihak kepada si pemilik modal ketika si pemilik modal menghadapi masalah.
Media massa, baik cetak maupun elektronik, harus memiliki sekurang-kurangnya empat fungsi. Fungsi informasi, edukasi, hiburan, dan pengawasan. Namun, seiring masuknya seorang pemilik modal ke dalam struktur suatu media massa, orientasi media massa menjadi bergeser. Kini, mencari keuntungan menjadi tujuan utama meskipun media massa tersebut harus menampilkan konten yang penuh hiburan tanpa / sedikit mengandung informasi dan edukasi dan mendatangkan untung dibandingkan tetap melaksanakan peran seharusnya sebagai penyedia informasi dan edukasi bagi penikmatnya yang termasuk di dalamnya golongan anak-anak. Empat fungsi di atas merupakan empat fungsi ideal yang seharusnya dijalankan oleh media. Apabila media dapat menjalankan empat fungsi tersebut, maka sistem sosial dalam masyarakat yang mana melibatkan media di dalamnya, akan dapat berjalan secara berimbang. Tetapi kenyataan yang kita dapati pada realitas yang ada di Indonesia pada saat ini adalah tidak demikian. Sebagian besar kalangan menilai bahwa media massa saat ini belum dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Media massa dianggap hanya menjadi alat komersialisasi dan sarana untuk menjalankan kepentingan-kepentingan pihak tertentu. Indonesia menganut sistem pers bebas bertanggung jawab. Tetapi dalam praktiknya, kebebasan inilah yang kerap kali disalah artikan dan disalah gunakan sehingga merugikan masyarakat sebagai konsumen media massa.

B.     Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah digunakan untuk membatasi masalah yang akan dibahas. Dalam penelitian ini, masalah dibatasi pada media massa antara idealisme dan komersialisme.

C.    Perumusan Masalah
Dalam makalah ini terdapat beberapa penjabaran materi dari latar belakang diatas. Diantaranya yaitu:
1.      Bagaimana media massa itu?
2.      Bagaimana hubungan media massa antara idealisme dan komersialisme.?

D.    Tujuan
1.      Tujuan penulisan makalah ini adalah :
2.      Untuk mengetahui pengertian media massa.
3.      Untuk mengetahui hubungan media massa antara idealisme dan komersialisme.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Media  Massa
Media massa (Mass Media) adalah sarana yang membawa pesan. Diantaranya buku, majalah, Koran, televise, radio, rekaman film, dan web.[1]
Menurut Eoin Devereux (2005), media massa adalah:
-          Wadah-wadah berkomunikasi antara sender dan receiver
-          Sebuah industry atau organisasi
-          Merupakan institusi yang memproduksi teks sebagai komoditas
-          Agen perubahan social dan global     
-          Agen sosialisasi dan menjadi sumber yang sangat kuat dalam mengkonstruk kebermaknaan social (social meaning). [2]

B.     Idealisme Media Masa
Idealisme adalah cita-cita, obsesi, sesuatu yang terus dikejar untuk bisa dijangkau dengan segala daya dan cara yang dibenarkan menurut etika dan norma profesi yang berlaku serta diakui oleh masyarakat dan Negara.
Makna UU diatas sudah jelas dan tegas, bahwa pers harus memiliki dan mengemban idealisme.
Dalam pasal 6 UU pokok pers  No 40 tahun 1999 menerangkan bahwa media massa harus:
-          memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
-          menegakkan nilai dasar demokrasi dan HAM serta menghormati bhineka tunggal ika
-          mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar
-          melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum
-          memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Contoh idealisme
-          Penegakkan nilai-nilai demokrasi dan HAM harus diperjuangkan oleh pers.
Dasarnya terdapat pada pasal 3 ayat (1) UU pokok pers No. 40/1999. Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan control social.
Tentu saja hanya pers yang mengemban, memiliki dan memperjuangkan idealisme yang bersentuhan erat dengan kepentingan bangsa yang akan berumur panjang dan didukung oleh segenap kalangan dan lapisan masyarakat dari idealisme yang kokoh, pers akan memiliki kepribadian terpercaya yang dihargai serta disegani siapapun.[3]


C.    Media Massa Antara Idealisme Dan Komersialisme
Komersialisme adalah  implikasi dari revolusi media yang mendorong media dengan visi ekonomi.[4] pers tidak hanya harus punya cita-cita ideal, pers sendiri harus punya kekuatan serta keseimbangan. Kekuatan untuk mencapai cita-cita, dan keseimbangan dalam mempertahankan nilai-nilai profesi yang diyakininya, agar mendapat kekuatan, maka pers harus berorientasi pada kepentingan komersial. Bagaimanapun pers bukanlah lembaga santunan social. Seperti ditegaskan pada pasal 3 ayat (2) 2011 pokok pers No. 40/1999, pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Sebagai lembaga ekonomi, penerbitan pers harus dijalankan dengan menunjuk pada pendekatan dan kaidah ekonomi, efesiensi, dan efektifitas. Secara manajerial perusahaan, pers harus memetik untung dan sejauh mungkin menghindari kerugian. Dalam kerangka ini apapun sajian pers tidak bisa dilepaskan dari tuntutan pasar. Hanya dengan berpijak pada nilai-nilai komersial, penerbitan pers bisa mencapai cita-citanya yang ideal. Tegasnya, idealisme tanpa komersialisme hanyalah ilusi.[5]
Media massa, harus memiliki sekurang-kurangnya empat fungsi. Fungsi informasi, edukasi, hiburan, dan pengawasan. Empat fungsi ini merupakan empat fungsi ideal yang seharusnya dijalankan oleh sebuah media. Apabila media dapat menjalankan empat fungsi tersebut, maka sistem sosial dalam masyarakat yang mana melibatkan media di dalamnya, akan dapat berjalan secara berimbang. Tetapi kenyataan yang kita dapati pada realitas yang ada di Indonesia pada saat ini adalah tidak demikian. Sebagian besar kalangan menilai bahwa media massa saat ini belum dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Media massa dianggap hanya menjadi alat komersialisasi dan sarana untuk menjalankan kepentingan-kepentingan pihak tertentu. Indonesia menganut sistem pers bebas bertanggung jawab. Tetapi dalam praktiknya, kebebasan inilah yang kerap kali disalah artikan dan disalah gunakan sehingga merugikan masyarakat sebagai konsumen media massa.
Sudah menjadi rahasia umum apabila saat ini media sudah ditunggangi oleh kepentingan pihak-pihak tertentu. Entah itu kepentingan ekonomi, maupun politik. Hal inilah yang menyebabkan media tidak menyampaikan informasi secara berimbang atau cover both sides. Beberapa bahkan sebagian besar media Indonesia menjadi alat untuk melancarkan kepentingan pribadi ataupun golongan. Seperti yang telah kita ketahui, beberapa media besar yang ada di Indonesia dimiliki oleh perseorangan yang pada dasarnya memiliki kepentingan pribadi dalam praktik medianya. Baik itu kepentingan ekonomi maupun politik. Tidak dapat dipungkiri, bahwa ideologi pemilik merupakan salah satu faktor terbesar yang dapat mempengaruhi isi media. Inilah yang menyebabkan mengapa isi media tidak lagi mengutamakan keempat fungsi media dan keberimbangan sebuah informasi, tetapi lebih kepada bagaimana mensetting sebuah agenda agar mindset masyarakat dapat terbentuk sesuai dengan apa yang telah diagendakan oleh media.
Beberapa contoh hilangnya idealisme pada media:  kepentingan politik yang begitu terlihat dalam tayangan media massa, terutama tayangan berita. Seperti yang telah diketahui, beberapa media besar yang menjadi konsumsi masyarakat dimiliki oleh tokoh-tokoh politik besar yang sedang bersaing untuk memperebutkan kursi kekuasaan. Di sinilah ideologi pemilik memiliki peranan besar. Mereka menjadikan media massa yang dimilikinya sebagai alat kampanye politik atau bahkan untuk menjatuhkan lawan politiknya dengan menyajikan informasi yang dikemas secara sengaja dengan tujuan untuk menjatuhkan lawan politiknya. Informasi atau berita yang disajikan oleh media massa yang demikian tidak lagi menganut prinsip keberimbangan atau cover both sides, melainkan hanya berpihak pada kepentingan agenda yang ingin dibuat oleh pemilik media. Tujuannya adalah untuk mempersuasi masyarakat agar mempercayai berita yang telah disajikan, dan membentuk pola pikir masyarakat agar sejalan dnegan apa yang dikendaki oleh media. Padahal seharusnya, melalui tayangan berita, media dapat menjalankan fungsinya sebagai alat kontrol sosial yang bersifat objektif dan tidak memihak.
Aspek lain yang juga menyedot perhatian beberapa kalangan adalah tayangan hiburan yang ada di media televisi yang dinilai kurang bermutu dan kurang mendidik. Seperti tayangan sinetron yang bergenre mistis, ataupun yang terlalu mendramatisasi kehidupan, acara infotaiment yang menguak kehidupan pribadi selebritis, juga acara komedi yang terkesan menyajikan hiburan dengan menjelek-jelekkan melalui banyolan olok-olokan antar pelawak dan juga bentuk-bentuk pelecehan serta kekerasan fisik. Tayangan-tayangan tersebut dinilai tidak mendidik, tetapi anehnya masih tetap bertahan. Dan masyarakat terbukti meminati tayangan-tayangan demikian. Para pengusahapun ramai-ramai mengiklankan produknya pada acara-acara demikian. Apalagi acara hiburan semacam ini, kerap kali ditayangkan pada jam-jam prime time.Hal ini membuat acara-acara semacam ini dapat bertahan bahkan persaingannyapun semakin ketat. Inilah yang perlu diperbaiki. Selain memberikan hiburan, tayangan dalam media massa juga harus memuat unsur edukatif yang mencerdaskan pemirsanya. Jadi, media dapat menjalankan keempat fungsinya dengan baik. Dan tentunya bermanfaat bagi masyarakat.
Beberapa contoh kasus di atas merupakan bukti nyata bahwa media massa saat ini sudah keluar dari jalur idealisme. Hanya ada sedikit sekali media yang masih tetap mempertahankan aspek idealisme dan menjalankan fungsinya dengan baik. Tetapi sayangnya media tersebut seolah-olah kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Sehingga masyarakatpun seolah enggan untuk menikmatinya. Justru media-media yang dinilai kurang bermutu dalam menyajikan tayanganlah yang dapat menarik perhatian masyarakat. Idealisme seolah-olah bisa terbeli oleh materi semata. Padahal media sangat berperan besar dalam kehidupan masyarakat, media lah yang menjadi sumber informasi terbesar, media lah yang mampu membentuk pola pikir masyarakat, dan media lah yang pada akhirnya dapat membentuk perilaku masyarakat dan budaya dalam masyarakat. kehidupan masyarakat tidak lagi dapat dipisahkan dari media massa. Ibarat dua sisi mata uang, keduanya berjalan seiringan. Tidak hanya masyarakat modern yang tinggal di perkotaan saja, masyarakat pedesaanpun juga tidak dapat mengelak dari terpaan media. Tentu bisa dibayangkan aoa yang akan terjadi pada bangsa Indonesia apabila setiap hati dijejali oleh informasi maupun tayangan yang tidak sesuai dengan idealisme media yang ada.
Disinilah peran pihak-pihak yang berkaitan dipertanyakan. Para elite atau pemerintah, sebenarnya telah memiliki pihak-pihak yang ditunjuk dan bertanggung jawab atas regulasi dan monitoring atau kontrol terhadap media masa. Seperti KPI atau Komisi Penyiaran Indonesia. Pemerintah juga memiliki instansi terkait yakni Kementrian Komunikasi dan Informasi.seharusnya mereka dituntut untuk lebih tegas lagi dalam membuat regulasi dan mengontrol jalannya media massa, agar media dapat menjalankan praktiknya secara ideal. Sanksi yang tegas juga harus diterapkan bagi media yang melanggar untuk memberikan efek jera.
Sebab lain media menjadi komersial yaitu dikarena biaya opersional dan produksi media massa yang besar, akhirnya menggiring media massa kita ke arah komersial, kondisi ini dimanfaatkan oleh kaum kapitalis yang kemudian menjadikan media sebagai anak emasnya dalam menciptakan pasar mereka.
Media juga sebagai industri yang menghasilkan komoditas oleh sebab itu unsur komersial menjadi menonjol. Pihak yang menentukan proses komunikasi dari peliputan informasi, pengemasan informasi, hingga pemasaran informasi adalah pemilik modal, dimana kondisi ini berpengaruh pada visi suatu media. Dapat dikatakan bahwa idealisme media sangat bergantung pada pemilik modal, karena bentuk jurnalisme yang dikemas difokuskan dalam rangka menyiasati kesempatan pasar.
Keberhasilan suatu media dapat diukur dari oplah (media cetak) atau rating (media penyiaran). Oplah dan rating adalah ukuran ekonomi bukan tolak ukur kualitas suatu content media.
Kebijakan politik juga bisa menimbulkan iklim kurang sehat terhadap isi media apabila ada interventensi politik dalam kegiatan komunikasi massa. Jadi dominasi pemilik modal (dominasi ekonomi) mengakibatkan orientasi komersial. Dominasi politik juga menimbulkan pemasungan terhadap kebebasan pers, secara akumulatif akan mempersempit ruang gerak jurnalisme.
Orientasi komersil media bisa disebabkan karena persaingan yang ketat, tetapi juga bisa dipengaruhi oleh kepemilikan media yang berpusat pada segelintir orang/kelompok. Kepemilikan media pada segelintir orang akan mengarah pada konglomerasi media.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
-          Media massa (Mass Media) adalah sarana yang membawa pesan. Diantaranya buku, majalah, Koran, televise, radio, rekaman film, dan web.
-          Pers sendiri harus punya kekuatan serta keseimbangan. Kekuatan untuk mencapai cita-cita, dan keseimbangan dalam mempertahankan nilai-nilai profesi yang diyakininya.
-          Media massa, harus memiliki sekurang-kurangnya empat fungsi. Fungsi informasi, edukasi, hiburan, dan pengawasan. Selain memberikan hiburan, tayangan dalam media massa juga harus memuat unsur edukatif yang mencerdaskan pemirsanyadan tentunya bermanfaat bagi masyarakat.
-          Salah satu sebab kenapa media menjadi komersial yaitu dikarena biaya opersional dan produksi media massa yang besar, akhirnya menggiring media massa kita ke arah komersial, Keberhasilan suatu media dapat diukur dari oplah (media cetak) atau rating (media penyiaran). Oplah dan rating adalah ukuran ekonomi bukan tolak ukur kualitas suatu content media.
-          Orientasi komersil media bisa disebabkan karena persaingan yang ketat, tetapi juga bisa dipengaruhi oleh kepemilikan media yang berpusat pada segelintir orang/kelompok. Kepemilikan media pada segelintir orang akan mengarah pada konglomerasi media.

B.     Saran
Dengan mempelajari hukum dan etika media massa selain bisa mengetahui apa saja hukum yang terdapat dalam media massa juga bisa mengetahui tentang idealisme dan komersialisme yang terdapat pada suatu media massa. Hal itu juga merupakan cara yang baik dalam proses belajar. Oleh karena itu sebagai kaum pelajar kita harus mengembangkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pelajar adalah masyarakan yang terpelajar. Yang dianggap sebagai kaum pelajar, karena mereka berpendidikan.


DAFTAR PUSTAKA
Vivian, John. 2008. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
file:///D:/media%20massa/hilangnya-idealisme-media-massa.html. diakses pada Sabtu 4 April 2015, Pukul 16:17 WIB.
file:///D:/media%20massa/komersialisasi-media-massa-oleh-angghi.html. diakses pada tanggal 4 April 2015 pukul 16.35 Wib.








[1] John Vivian, Teori Komunikasi Massa, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm 453.
[2] file:///D:/media%20massa/komersialisasi-media-di-indonesia.html. diakses pada Sabtu 4 April 2015, Pukul 16:17 WIB.
[3] John Vivian, Teori Komunikasi Massa,… hlm 46.
[4]file:///D:/media%20massa/Komersialisasi%20Media%20di%20Indonesia%20%C2%AB%20kapsel classfikomuntar.htm. diakses pada tanggal 4 April 2015 pukul 16.35 Wib.
[5] John Vivian, Teori Komunikasi Massa,… hlm 47.

MAKALAH IJARAH-SEWA MENYEWA

IJARAH
SEWA MENYEWA
A.    Pendahuluan
Kegiatan pinjam meminjam uang telah dilakukan dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Dapat diketahui bahawa hampir semua masyarakat telah menjadikan kegiatan pinjam meminjam uang sebagai alat sesuatu yang sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan kegiatan perekonomiannya dan untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Pihak pemberi pinjaman yang mempunyai kelebihan uang bersedia meminjamkan uang kepada yang memerlukan. Sebaliknya, pihak peminjam berdasarkan keperluan atau tujuan tertentu melakukan peminjaman uang tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa pihak peminjam uang kepada pihak pemberi pinjaman untuk membiayai kebutuhan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari atau untuk memenuhi keperluan dana guna pembiayaan kegiatan usahanya.
Selanjutnya dalam kegiatan pinjam meminjam uang yang terjadi di masyarakat dapat diperhatikan bahwa umunya sering dipersyaratkan adanya penyerahan jaminan utang oleh pihak peminjam kepada pihak pemberi pinjaman. Jaminan utang dapat berupa barang (benda) sehingga merupakan jaminan kebendaan dan atau berupa janji penanggungan utang sehingga merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak guna atau barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri. Ada yang menerjemahkan, ijarah sebagai jual-beli jasa (upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tanaga manusia. Ada pula yang menerjemahkan sebagai sewa-menyewa yakni mengambil manfaat dari barang.





B.     Ijarah
1.      Pengertian
Kata Al-Ijarah berasal dari Al-ajru yang berarti Al’iwadhu atau ganti. Dikatakan pula Attsawaabu (pahala) dengan  al-ajru’ = upah.[1]
Menurut pengertian syara’, al-ijarah ialah : urusan sewa menyewa yang jelas manfaat dan tujuannya, dapat diserah terimakan, boleh dengan ganti (upah) yang telah diketahui (gajian tertentu). Seperti halnya barang itu harus bermanfaat, misalkan: rumah untuk ditempati, mobil untuk dinaiki.
Ijarah berarti sewa, jasa atau imbalan, yaitu akad dengan yang dilakukan atas dasar suatu manafaat dengan imbalan jasa. Secara bahasa, namaun secara istilah umrah adalah suatu jenis akad  yang dengan pada hakikatnya adalah perjalanan manfaat atau pemindahan hak atas suatu barang dan jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa diiikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.[2]
Ulama hanafiah.
هِيَ بَيْعُ مَنْفَعَةٍ مَعْلُومَةٍ بِأَجْرٍ مَعْلُومٍ
Artinya: “Menjual kemanfaatan tertentu dengan upah yang ditentukan pula.”

Ulama maliki
عَقْدٌ لاَزِمٌ عَلَى الْمَنَافِعِ المُبَاحَةِ
Artinya: “Akad tetap atas manfaat yang diperbolehkan.”

Ulama Syafi’i
عقد على منفعة مقصودة معلومة قابلة للبذل والإباحة بعوض ممعلو
Artinya: “Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan menerima pengganti serta kebolehan dengan pengganti tertentu.”

Ulama hanabilah
عوض معلوم ، في منفعة معلومة ، من عين معينة أو موصوفة في مالذمة ، أو في عمل معلو
Artinya: “Pengganti tertentu, dalam manfaat tertentu, dari barang yang ditentukan atau disifati dalam tanggungan atau pekerjaan tertentu”.

Selain defenisi ulama empat mazhab diatas adapula yang mendefenisikan ijarah sebagai akad pemindahan hak guna atau barang jasa melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri. Ada yang menerjemahkan, ijarah sebagai jual-beli jasa (upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia. Ada pula yang menerjemahkan sebagai sewa-menyewa yakni mengambil manfaat dari barang. Dari defenisi-defenisi diatas, kiranya dapat dipahami bahwa Ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya. [3]
Dari beberapa defenisi di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa ijarah adalah suatu akad yang  berupa pemindahan manfaat barang atau jasa dengan pengganti berupa upah yang telah ditentukan tanpa adanya pemindahan kepemilikan.
Menurut etimologi ijarah adalah menjual manfaat. Sedangkan secara terminologi menurut pendapat ulama fiqih yaitu:[4]
a.       Menurut Sayyid Sabiq, dalam kitab Al-Fiqhul Sunnah Ijarah adalah suatu jenis akad atau transaksi untuk mengambil; manfaat dengan memberi penggantian.
b.      Menurut ulama Hanafiyah, ijarah yaitu akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.
c.       Menurut Asy-Syafiyah, ijarah yaitu suatu kemanfaatan yang mengandung  dan maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti tertentu.
d.      Menurut ulama Malikiyyah dan Hanabilah, ijarah adalah menjadikan suatu milik kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.
e.       Menurut Amir Syarifudin, Ijarah adalah suatu akad atau transaksi dengan manfaat atau jasa sebagai objeknya dan dengan mengambil imbalan.
Ijarah dibagi menjadi dua yaitu ijarah atas  jasa dan ijarah atas benda. Menurut jumhur ulama fiqih, ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, semua itu adalah bukan manfaat tapi bendanya.

2.      Dasar Hukum
a.       Kaidah-kaidah dalam Ijarah
1)      Semua barang yang dapat dinikmati manfaat tanpa mengurangi substansi barang tersebut. Maka barang tersebut dapat disewakan.
2)      Semua barang yang manfaatnya dilakukan sedikit demi sedikit tetapi tidak mengurangi substansi barang itu seperti susu pada unta, dan air dalam sumur dapat disewakan.
b.      Dasar hukum Ijarah
Ijarah sebagai suatu transaksi yang sifatnya saling tolong menolong mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Qur’an dan hadits. Konsep ini mulai dikembangkan masa khalifah Umar bin Khattab yang melarang pemberian tanah bagi kaum muslim yang diwilayah yang ditentukan, dan sebagai langkah dasar alternatif adalah membudidayakan tanah berdasarkan pembayaran kharaj dan sizyah. Adapun landasan/ dasar hukum ijarah dalam Al-Qur’an yaitu:



1)      Al-Qur’an Surat Az-Zukhruf: 32
óOèdr& tbqßJÅ¡ø)tƒ |MuH÷qu y7În/u 4 ß`øtwU $oYôJ|¡s% NæhuZ÷t/ öNåktJt±ŠÏè¨B Îû Ío4quŠysø9$# $u÷R9$# 4 $uZ÷èsùuur öNåk|Õ÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uyŠ xÏ­GuÏj9 NåkÝÕ÷èt/ $VÒ÷èt/ $wƒÌ÷ß 3 àMuH÷quur y7În/u ׎öyz $£JÏiB tbqãèyJøgs ÇÌËÈ


2)      Al-Qur’an Surat Al-Baqarah: 233
÷bÎ*sù #yŠ#ur& »w$|ÁÏù `tã <Ú#ts? $uKåk÷]ÏiB 9ãr$t±s?ur Ÿxsù yy$oYã_ $yJÍköŽn=tã 3 ÷bÎ)ur öN?Šur& br& (#þqãèÅÊ÷ŽtIó¡n@ ö/ä.y»s9÷rr& Ÿxsù yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ #sŒÎ) NçFôJ¯=y !$¨B Läêøs?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ׎ÅÁt/ ÇËÌÌÈ

3)      Al-Qur’an Surat Al-Qashas: 26
ôMs9$s% $yJßg1y÷nÎ) ÏMt/r'¯»tƒ çnöÉfø«tGó$# ( žcÎ) uŽöyz Ç`tB |Nöyfø«tGó$# Èqs)ø9$# ßûüÏBF{$# ÇËÏÈ

4)      Al-Qur’an Surat At-Thalaaq: 6
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr Ÿwur £`èdr!$ŸÒè? (#qà)ÍhŠŸÒçGÏ9 £`ÍköŽn=tã 4 bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`ÍköŽn=tã 4Ó®Lym z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& ( (#rãÏJs?ù&ur /ä3uZ÷t/ 7$rã÷èoÿÏ3 ( bÎ)ur ÷Län÷Ž| $yès? ßìÅÊ÷ŽäI|¡sù ÿ¼ã&s! 3t÷zé& ÇÏÈ

a.      “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan berbagai yang lain, dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
b.      “Dan jika kamu ingin anakmu di susukan oleh orang lain maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memerikan pembayaran yang patut, bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan.”
c.       Salah seorang dari kamu kedua wanita itu berkata: “ya Bapak ku ambillah ia sebagai orang yang berkerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja pada kita ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”
d.      Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.[5]

3.      Rukun dan Syarat-Syarat Al-Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah Rukun Ijarah adalah ijab dan qabul dengan menggunakan kalimat: Al-Ijarah, Al-Isti’jar, Al-Ikhtira, dan Al-Ikra’. Adapun menurut jumhur ulama, rukun Ijarah ada empat yaitu:
1)      ‘Aqid (orang yang akad)
2)      Sighat akad
3)      Ujrah (Upah)
4)      Manfaat [6]
Adapun syarat-syarat Al-Ijarah sebagaimana yangh ditulis Nasrun Haroen sebagai berikut:
1)      Yang terkaid dengan dua orang yang berakad. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabalah yang disyaratkan telah baliq dan berakal. Oleh sebab itu, apabila orang yang belum atau tidak berakal, seperti anak kecil dan orang gila ijarahnya tidak sah. Akan tetapi, ulama hanafiyah dan malikiyah berpendapat bahwa kedua yang berakad itu tidak harus mencapai usia balig. Oleh karenanya, anak yang baru mumayyuiz pun boleh melakukan akad al-ijarah hanya pengesahannya perlu persetujuan walinya.
2)      Kedua belah pihak yang erakas kerelaannya melakukan akad al-ijarah, apabila salah seorang diantaranya terpaksa melakukan akad ini, maka akad al-ijarah nya tidak sah. Hal ini sesuai dengan firman Allah Qs. An-Nisa: 29, yang artinya: “ wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta kamu dengan cara yang bathil kecuali melalui suatu perniagaan yang berlaku suka sama suka.”
3)      Manfaat yang menjadi objek harus diketahui, sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari. Apabila manfaat yang menjadi objek tidak jelas, maka akadnya tidak sah. Kejelasan manfaat itu dapat dilakukan dengan menjelaskan jenis manfaatnya dan penjelasan berupa lama manfaat itu di tangan penyewa.
4)      Objek al-ijarah itu bleh diserahkan dan digunakan secara langsung dan tidak ada catatannya. Oleh sebab itu, para ulama fiqh sepakat, bahwa tidak boleh menyewakan yang tidak boleh diserahkan dan dimanfaatkan oleh penyewa. Misalnya, seorang penyewa rumah, maka rumah itu dapat langsung diambil kuncinya dan dapat langsung ia manfaatkan.
5)      Objek al-ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’. Oleh sebab itu, para ulama fiqh sepakat mengatakan tidak boleh menyewa seorang untuk menyantet orang lain, demikian juga tidak boleh menyewakan rumah untuk dijadikan tempat maksiat.
6)      Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa, misalnya  menyewa orang melaksanakan shalat untuk diri penyewa atau menyewa orang yang belum naik haji untuk menggantikan haji penyewa. Para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa akad sewa menyewa seperti ini tidak sah, karena shalat dan haji merupakan kewajiban penyewa sendiri.
7)      Objek al-ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan seperti, rumah, kendaraan dan alat-alat perkantoran. Oleh sebab itu, tidak boleh dilakukan akad sewa menyewa terhadap sebatang pohon yang akan dimanfaatkan penyewa sebagai sarana penjemur pakaian, karena pada dasarnya akad untuk sebatang pohon bukan dimaksudkan seperti itu.
8)      Upah atau sewa dalam al-ijarah harus jelas, tertentu, dan sesuatu yang memiliki nilai ekonomi.[7]

4.      Upah Untuk Jasa Berkaitan Dengan Ibadah
Upah dalam perbuatan ibadah (ketaatan) seperti shalat, puasa, haji dan membaca Al-Qur’an diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama, karena berbeda cara pandang terhadap pekerjaan-pekerjaan ini.
a.       Madzhab Hanafi mengharamkan atas pengambilan upah dalam pekerjaan ibadah
b.      Menurut Sayyid Sabiq, pekerjaan seperti ini batal. Menurut Islam membaca Al-Qur’an itu untuk ibadah saja.
c.       Menurut Madzhab Hambali, boleh mengambil upah dari pekerjaan mengajar Al-Quran jika tujuannya untuk kemaslahatan. Tetapi haram tujuannya taqaru ilallah.
d.      Menurut Jumhur Fuqaha (Maliki, Syafi’i dan Ibnu Hazm), membolehkan mengambil upah atas pekerjaan itu bisa diukur dan mengambil upah yang selazimnya.[8]

5.      Memahami Tentang Jenis-jenis Sewa menyewa dan Upah /  Ijarah yang Berlaku Dalam Masyarakat
a.       Pembayaran Upah dan Sewa
Jika ijarah itu suatu pekerjaan, mka akewajiban membayar upahnya pada waktu berakhirnya pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad sesudah berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai pemabayaran dan tidak ada ketentuan penangguhannya, menurut Abu Hanififah wajib diserahkan upahnya secara berangsur sesuai dengan manfaat yang diterimanya, menurut Imam Syafi’I dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad itu sendiri. Jika Mu’jri menyerahkan zat benda yang disewakan kepada Musta’far, jika berhak menerima bayarannya karena penyewa (musta’jir) sudah menerima kegunaan.
Hak menerima Upah bagi musta’jir adalah sebagai berikut.
-          Ketika pekerjaan selesai dikerjakan, beralaskan kepada hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah, Rasulullah SAW, bersabda:
“Berikanlah upah sebelum keringat pekerja itu kering”
-          Jika menyewa barang, uang sewa diserahkan ketika akad sewa, kecuali bila dalam akad ditemukan lain, manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama penyewaan berlangsung.[9]
b.      Menyewakan Barang Sewaan
Musta’jir dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan kepada orang lain dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan kepada akad, seperti penyewaan seekor kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau itu disewa untuk membajak sawah, kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan timbul Musta’jir kedua, maka kerbau itupun harus digunakan untuk membajak pula.
Harga penyewaan yang kedua ini dibebaskan, dalam arti boleh lebih besar, lebih kecil, atau seimbang.
Bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yanga bertanggung jawab adalah pemilik barang (Mu’jir) dengan syarat kecelakaan itu bukan kelalaian Musta’jir. Bila kecelakaan atau kerusakan benda yang disewakan akibat kelalaian Mus’ta’jir maka yang bertanggung jawab adalah Musta’jir itu sendiri.
c.       Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut:
-          Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa.
-          Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya.
-          Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan.
-          Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.
-          Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, seperti menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia diperbolehkan memfasakhkan sewaan itu.
-          Pembatalan Akad.[10]
d.      Jenis Ijarah
-          Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu memperkerjakan jasa seorang dengan upah sebagai imbalan jasa dan disewa pihak yang memperkerjakan disebut “Mustajir”. Pihak pekerja “ajir” dan upah yang dibayarkan disebut “ijarah”.[11]
-          Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset, atau properti, tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa. Bentuk ini mirip dengan leasing (sewa-menyewa). Pihak yang menyewakan (lessor)/ mu’jir dan biaya disebut ujrah.
Ijarah yang pertama banyak diterapkan dalam pelayanan jasa perbankan syari’ah, semnetara ijarah kedua bisa diterapkan sebagai memperkerjakan.



e.       Ketentuan Ijarah
1)      Ketentuan objek ijarah
a.       Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang atau jasa dalam kontrak.[12]
b.      Pemenuhan manfaat harus nyata dan harus sesuai dengan syari’ah
c.       Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah yang akan mengakibatkan sengketa.
d.      Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya, bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
e.       Sewa adalah suatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepad lembaga keuangan syari’ah sebagai pembayaran manfaat sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa dalam ijarah.
f.       Pembayaran sewa boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan objek kontrak.
g.      Flexibelity dalam menentukan sewa dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
2)      Kewajiban lembaga keuangan syari’ah dan nasabah dalam pembiayaan ijarah
a.       Kewajiban LKS sebagai sewa:
a)      Meyediakan asset yang disewakan
b)      Menanggung biaya pemeliharaan asset
c)      Penjamin bila tidak cacat pada asset yang disewakan
b.      Kewajiban nasabah sebagai penyewa
a)      Membayar sewa dan tanggung jawab untuk menjaga keutuhan asset yang disewa serta menggunakan sesuai dengan kontrak
b)      Menanggung biaya pemeliharaan asset yang sifatnya ringan, jika asset yang disewakan rusak, bukan karena pelanggaran penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak sewa dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.[13]

6.      Rusaknya Sewa Menyewa
a.       Meninggalkan salah satu dari orang yang menyewa dan menyewakan, tidak berakibat batalnya akad sewa-menyewa. Akad akan batal apabila barang sewaannya rusak dan tidak dapat diambil manfaatnya lagi. Hal ini kalau barang yang disewa itu tertentu pada waktu akad itu terjadi.[14]
b.      Menyewa barang-barang dalam tanggung jawab seorang seperti menyewa mobil yang dinaiki untuk pergi ke Bandung dan jakarta, akan tetapi manfaat dari segi kemampuan mobil tersebut untuk mengangkut orang lain dari tempat ketempat yang ditentukan.
c.       Apabila barang sewanya sewaktu digunakan tiba-tiba rusak, maka penyewa harus menggantinya, karena kelengahan.

7.      Pengembalian Barang Sewaan
Jika ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan, jika barang itu dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkannya kepada pemiliknya, dan jika bentuk barang sewaan adalah benda tetap (‘Iqar), ia wajib menyerahkan kembali dalam keadaan kosong, jika barang sewaan itu tanah, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong tanaman, kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya.
Mazhab Hambali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir, penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk menyerahterimakannya, seperti barang titipan.[15]

8.      Hikmah Mensyari’atkan Sewa-Beli atau Upah –Mengupah
Syari’at memerintahkan adanya ijarah itu, karena ia menolong sesama manusia. Mereka membutuhkan tempat diam, pelayanan sebagian atas yang lain, kendaraan untuk ditunggangi dan untuk membawa barang-barang, tanah untuk ditanami, dan alat-alat yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan penghidupan mereka.[16]

C.    Kesimpulan
Ijarah berarti sewa, jasa atau imbalan, yaitu akad dengan yang dilakukan atas dasar suatu manfaat dengan imbalan jasa. Secara bahasa, namun secara secara istilah umrah adalah suatu jenis akad yang dengan pada hakikatnya ijarah adalah perjalanan manfaat atau pemindahan hak atas suatu barang dan jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Adapun jenis ijarah yaitu:
1.      Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa
2.      Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset
Penjelasan ijarah ini harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dan dasar hukum ijarah ini terdapat pada Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat : 233.
Jika ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan, jika barang itu dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkannya kepada pemiliknya.
Syari’at memerintahkan adanya ijarah itu, karena ia menolong sesama manusia.

 DAFTAR PUSTAKA
Ghazaly, Abdul Rahman dkk. 2012. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana Media Grup.
Masyhur, Kahar. 2004.  FIKIH SUNNAH Sewa menyewa Koperasi (Terjemah dan ulasan seperlunya), Jakarta: Kalam Mulia.
Suhendi, Hendi. 2002. Fiqih Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo persada.
Syafe’i, Rahmat. 2001. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.
Umar, Anshori. 2008. Fiqih Wanita. Semarang: CV. Asy-Syika.


























[1] Drs. H. Kahar Masyhur, FIKIH SUNNAH Sewa menyewa Koperasi (Terjemah dan ulasan seperlunya),  Jakarta: Kalam Mulia, 2004. h. 1
[2] Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia. 2001. h. 156
[3] Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si. Fiqh Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2002.  h. 115.
[4] Abdul Rahman Ghazaly dkk, Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana Media Grup, 2012. h. 277.
[5] Anshori Umar , Fiqih Wanita. Semarang: CV. Asy-Syika. 2008. h. 29
[6] Abdul Rahman Ghazaliy dkk, Fiqh Muamalat....... h. 277
[7] Abdul Rahman Ghazaliy dkk, Fiqh Muamalat....... h. 279
[8] Abdul Rahman Ghazaliy dkk, Fiqh Muamalat....... h. 280
[9] Abdul Rahman Ghazaliy dkk, Fiqh Muamalat....... h. 282
[10] Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si. Fiqh Muamalah....... h. 122
[11] Anshori Umar , Fiqih Wanita...... h. 48
[12] Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si. Fiqh Muamalah....... h. 56
[13] Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si. Fiqh Muamalah....... h. 56
[14] Anshori Umar , Fiqih Wanita...... h. 29
[15] Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si. Fiqh Muamalah....... h.123
[16] Drs. H. Kahar Masyhur, FIKIH SUNNAH Sewa menyewa Koperasi.......h. 6