IJARAH
SEWA MENYEWA
A.
Pendahuluan
Kegiatan pinjam
meminjam uang telah dilakukan dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal
uang sebagai alat pembayaran. Dapat diketahui bahawa hampir semua masyarakat
telah menjadikan kegiatan pinjam meminjam uang sebagai alat sesuatu yang sangat
diperlukan untuk mendukung perkembangan kegiatan perekonomiannya dan untuk
meningkatkan taraf kehidupannya. Pihak pemberi pinjaman yang mempunyai
kelebihan uang bersedia meminjamkan uang kepada yang memerlukan. Sebaliknya,
pihak peminjam berdasarkan keperluan atau tujuan tertentu melakukan peminjaman
uang tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa pihak peminjam uang kepada
pihak pemberi pinjaman untuk membiayai kebutuhan yang berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari atau untuk memenuhi keperluan dana guna pembiayaan
kegiatan usahanya.
Selanjutnya
dalam kegiatan pinjam meminjam uang yang terjadi di masyarakat dapat
diperhatikan bahwa umunya sering dipersyaratkan adanya penyerahan jaminan utang
oleh pihak peminjam kepada pihak pemberi pinjaman. Jaminan utang dapat berupa
barang (benda) sehingga merupakan jaminan kebendaan dan atau berupa janji
penanggungan utang sehingga merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan
hak guna atau barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah)
atas barang itu sendiri. Ada yang menerjemahkan, ijarah sebagai jual-beli jasa
(upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tanaga manusia. Ada pula yang
menerjemahkan sebagai sewa-menyewa yakni mengambil manfaat dari barang.
B.
Ijarah
1.
Pengertian
Kata Al-Ijarah berasal dari Al-ajru yang berarti Al’iwadhu atau ganti. Dikatakan pula Attsawaabu (pahala) dengan al-ajru’ = upah.[1]
Menurut
pengertian syara’, al-ijarah ialah :
urusan sewa menyewa yang jelas manfaat dan tujuannya, dapat diserah terimakan,
boleh dengan ganti (upah) yang telah diketahui (gajian tertentu). Seperti
halnya barang itu harus bermanfaat, misalkan: rumah untuk ditempati, mobil
untuk dinaiki.
Ijarah berarti
sewa, jasa atau imbalan, yaitu akad dengan yang dilakukan atas dasar suatu
manafaat dengan imbalan jasa. Secara bahasa, namaun secara istilah umrah adalah
suatu jenis akad yang dengan pada
hakikatnya adalah perjalanan manfaat atau pemindahan hak atas suatu barang dan
jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa diiikuti dengan
pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.[2]
Ulama hanafiah.
هِيَ بَيْعُ مَنْفَعَةٍ
مَعْلُومَةٍ بِأَجْرٍ مَعْلُومٍ
Artinya:
“Menjual kemanfaatan tertentu dengan upah
yang ditentukan pula.”
Ulama maliki
عَقْدٌ لاَزِمٌ عَلَى
الْمَنَافِعِ المُبَاحَةِ
Artinya:
“Akad tetap atas manfaat yang
diperbolehkan.”
Ulama
Syafi’i
عقد على منفعة مقصودة معلومة قابلة للبذل والإباحة بعوض ممعلو
Artinya:
“Akad atas suatu kemanfaatan yang
mengandung maksud tertentu dan menerima pengganti serta kebolehan dengan
pengganti tertentu.”
Ulama hanabilah
عوض معلوم ، في منفعة معلومة
، من عين معينة أو موصوفة في مالذمة ، أو في عمل معلو
Artinya:
“Pengganti tertentu, dalam manfaat
tertentu, dari barang yang ditentukan atau disifati dalam tanggungan atau
pekerjaan tertentu”.
Selain defenisi
ulama empat mazhab diatas adapula yang mendefenisikan ijarah sebagai akad
pemindahan hak guna atau barang jasa melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti
dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah)
atas barang itu sendiri. Ada yang menerjemahkan, ijarah sebagai jual-beli jasa
(upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia. Ada pula yang
menerjemahkan sebagai sewa-menyewa yakni mengambil manfaat dari barang. Dari
defenisi-defenisi diatas, kiranya dapat dipahami bahwa Ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya. [3]
Dari beberapa
defenisi di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa ijarah adalah suatu akad
yang berupa pemindahan manfaat barang
atau jasa dengan pengganti berupa upah yang telah ditentukan tanpa adanya
pemindahan kepemilikan.
Menurut
etimologi ijarah adalah menjual manfaat. Sedangkan secara terminologi menurut
pendapat ulama fiqih yaitu:[4]
a. Menurut Sayyid Sabiq,
dalam kitab Al-Fiqhul Sunnah Ijarah
adalah suatu jenis akad atau transaksi untuk mengambil; manfaat dengan memberi
penggantian.
b. Menurut ulama
Hanafiyah, ijarah yaitu akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.
c. Menurut Asy-Syafiyah,
ijarah yaitu suatu kemanfaatan yang mengandung
dan maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti tertentu.
d. Menurut ulama
Malikiyyah dan Hanabilah, ijarah adalah menjadikan suatu milik kemanfaatan yang
mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.
e. Menurut Amir
Syarifudin, Ijarah adalah suatu akad atau transaksi dengan manfaat atau jasa
sebagai objeknya dan dengan mengambil imbalan.
Ijarah dibagi
menjadi dua yaitu ijarah atas jasa dan
ijarah atas benda. Menurut jumhur ulama fiqih, ijarah adalah menjual manfaat
dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu,
mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil
susunya, sumur untuk diambil airnya, semua itu adalah bukan manfaat tapi
bendanya.
2.
Dasar Hukum
a. Kaidah-kaidah dalam
Ijarah
1) Semua barang yang dapat
dinikmati manfaat tanpa mengurangi substansi barang tersebut. Maka barang
tersebut dapat disewakan.
2) Semua barang yang
manfaatnya dilakukan sedikit demi sedikit tetapi tidak mengurangi substansi
barang itu seperti susu pada unta, dan air dalam sumur dapat disewakan.
b. Dasar hukum Ijarah
Ijarah sebagai suatu transaksi yang sifatnya saling
tolong menolong mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Qur’an dan hadits. Konsep
ini mulai dikembangkan masa khalifah Umar bin Khattab yang melarang pemberian
tanah bagi kaum muslim yang diwilayah yang ditentukan, dan sebagai langkah
dasar alternatif adalah membudidayakan tanah berdasarkan pembayaran kharaj dan
sizyah. Adapun landasan/ dasar hukum ijarah dalam Al-Qur’an yaitu:
1) Al-Qur’an Surat
Az-Zukhruf: 32
óOèdr&
tbqßJÅ¡ø)tƒ
|MuH÷qu‘
y7În/u‘
4
ß`øtwU
$oYôJ|¡s%
NæhuZ÷t/
öNåktJt±ŠÏè¨B
’Îû
Ío4quŠysø9$#
$u‹÷R‘‰9$#
4
$uZ÷èsùu‘ur
öNåk|Õ÷èt/
s-öqsù
<Ù÷èt/
;M»y_u‘yŠ
x‹Ï‚Gu‹Ïj9
NåkÝÕ÷èt/
$VÒ÷èt/
$wƒÌ÷‚ß™
3
àMuH÷qu‘ur
y7În/u‘
׎öyz
$£JÏiB
tbqãèyJøgs†
ÇÌËÈ
2) Al-Qur’an Surat
Al-Baqarah: 233
÷bÎ*sù #yŠ#u‘r& »w$|ÁÏù `tã <Ú#ts? $uKåk÷]ÏiB 9‘ãr$t±s?ur Ÿxsù yy$oYã_ $yJÍköŽn=tã 3 ÷bÎ)ur öN›?Šu‘r& br& (#þqãèÅÊ÷ŽtIó¡n@ ö/ä.y‰»s9÷rr& Ÿxsù yy$uZã_ ö/ä3ø‹n=tæ #sŒÎ) NçFôJ¯=y™ !$¨B Läêø‹s?#uä Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur ¨br& ©!$# $oÿÏ3 tbqè=uK÷ès? ׎ÅÁt/ ÇËÌÌÈ
3) Al-Qur’an Surat
Al-Qashas: 26
ôMs9$s% $yJßg1y‰÷nÎ) ÏMt/r'¯»tƒ çnöÉfø«tGó™$# ( žcÎ) uŽöyz Ç`tB |Nöyfø«tGó™$# ‘“Èqs)ø9$# ßûüÏBF{$# ÇËÏÈ
4) Al-Qur’an Surat At-Thalaaq:
6
£`èdqãZÅ3ó™r&
ô`ÏB
ß]ø‹ym
OçGYs3y™
`ÏiB
öNä.ω÷`ãr
Ÿwur
£`èdr•‘!$ŸÒè?
(#qà)ÍhŠŸÒçGÏ9
£`ÍköŽn=tã
4
bÎ)ur
£`ä.
ÏM»s9'ré&
9@÷Hxq
(#qà)ÏÿRr'sù
£`ÍköŽn=tã
4Ó®Lym
z`÷èŸÒtƒ
£`ßgn=÷Hxq
4
÷bÎ*sù
z`÷è|Êö‘r&
ö/ä3s9
£`èdqè?$t«sù
£`èdu‘qã_é&
(
(#rãÏJs?ù&ur
/ä3uZ÷t/
7$rã÷èoÿÏ3
(
bÎ)ur
÷Län÷Ž| $yès?
ßìÅÊ÷ŽäI|¡sù
ÿ¼ã&s!
3“t÷zé&
ÇÏÈ
a.
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat
Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain
beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan berbagai yang lain,
dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
b.
“Dan jika kamu ingin anakmu di susukan
oleh orang lain maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memerikan pembayaran
yang patut, bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah maha melihat
apa yang kamu kerjakan.”
c.
Salah seorang dari kamu kedua wanita itu
berkata: “ya Bapak ku ambillah ia sebagai orang yang berkerja (pada kita),
karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja pada
kita ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”
d.
Tempatkanlah mereka (para isteri) di
mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang
sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya.[5]
3.
Rukun dan Syarat-Syarat
Al-Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah
Rukun Ijarah adalah ijab dan qabul dengan menggunakan kalimat: Al-Ijarah, Al-Isti’jar, Al-Ikhtira, dan Al-Ikra’. Adapun menurut jumhur ulama,
rukun Ijarah ada empat yaitu:
1) ‘Aqid
(orang yang akad)
2)
Sighat akad
3) Ujrah
(Upah)
4) Manfaat [6]
Adapun
syarat-syarat Al-Ijarah sebagaimana yangh ditulis Nasrun Haroen sebagai
berikut:
1) Yang terkaid dengan dua
orang yang berakad. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabalah yang disyaratkan
telah baliq dan berakal. Oleh sebab itu, apabila orang yang belum atau tidak
berakal, seperti anak kecil dan orang gila ijarahnya tidak sah. Akan tetapi,
ulama hanafiyah dan malikiyah berpendapat bahwa kedua yang berakad itu tidak
harus mencapai usia balig. Oleh karenanya, anak yang baru mumayyuiz pun boleh
melakukan akad al-ijarah hanya pengesahannya perlu persetujuan walinya.
2) Kedua belah pihak yang
erakas kerelaannya melakukan akad al-ijarah, apabila salah seorang diantaranya
terpaksa melakukan akad ini, maka akad al-ijarah nya tidak sah. Hal ini sesuai
dengan firman Allah Qs. An-Nisa: 29, yang artinya: “ wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
kamu dengan cara yang bathil kecuali melalui suatu perniagaan yang berlaku suka
sama suka.”
3) Manfaat yang menjadi
objek harus diketahui, sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari.
Apabila manfaat yang menjadi objek tidak jelas, maka akadnya tidak sah.
Kejelasan manfaat itu dapat dilakukan dengan menjelaskan jenis manfaatnya dan
penjelasan berupa lama manfaat itu di tangan penyewa.
4) Objek al-ijarah itu
bleh diserahkan dan digunakan secara langsung dan tidak ada catatannya. Oleh
sebab itu, para ulama fiqh sepakat, bahwa tidak boleh menyewakan yang tidak
boleh diserahkan dan dimanfaatkan oleh penyewa. Misalnya, seorang penyewa
rumah, maka rumah itu dapat langsung diambil kuncinya dan dapat langsung ia
manfaatkan.
5) Objek al-ijarah itu
sesuatu yang dihalalkan oleh syara’. Oleh sebab itu, para ulama fiqh sepakat
mengatakan tidak boleh menyewa seorang untuk menyantet orang lain, demikian
juga tidak boleh menyewakan rumah untuk dijadikan tempat maksiat.
6) Yang disewakan itu
bukan suatu kewajiban bagi penyewa, misalnya
menyewa orang melaksanakan shalat untuk diri penyewa atau menyewa orang
yang belum naik haji untuk menggantikan haji penyewa. Para ulama fiqh sepakat
mengatakan bahwa akad sewa menyewa seperti ini tidak sah, karena shalat dan
haji merupakan kewajiban penyewa sendiri.
7) Objek al-ijarah itu
merupakan sesuatu yang biasa disewakan seperti, rumah, kendaraan dan alat-alat
perkantoran. Oleh sebab itu, tidak boleh dilakukan akad sewa menyewa terhadap
sebatang pohon yang akan dimanfaatkan penyewa sebagai sarana penjemur pakaian,
karena pada dasarnya akad untuk sebatang pohon bukan dimaksudkan seperti itu.
8) Upah atau sewa dalam
al-ijarah harus jelas, tertentu, dan sesuatu yang memiliki nilai ekonomi.[7]
4.
Upah Untuk Jasa
Berkaitan Dengan Ibadah
Upah dalam perbuatan
ibadah (ketaatan) seperti shalat, puasa, haji dan membaca Al-Qur’an
diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama, karena berbeda cara pandang
terhadap pekerjaan-pekerjaan ini.
a. Madzhab Hanafi
mengharamkan atas pengambilan upah dalam pekerjaan ibadah
b. Menurut Sayyid Sabiq,
pekerjaan seperti ini batal. Menurut Islam membaca Al-Qur’an itu untuk ibadah
saja.
c. Menurut Madzhab
Hambali, boleh mengambil upah dari pekerjaan mengajar Al-Quran jika tujuannya
untuk kemaslahatan. Tetapi haram tujuannya taqaru
ilallah.
d. Menurut Jumhur Fuqaha
(Maliki, Syafi’i dan Ibnu Hazm), membolehkan mengambil upah atas pekerjaan itu
bisa diukur dan mengambil upah yang selazimnya.[8]
5.
Memahami Tentang
Jenis-jenis Sewa menyewa dan Upah /
Ijarah yang Berlaku Dalam Masyarakat
a. Pembayaran Upah dan
Sewa
Jika ijarah
itu suatu pekerjaan, mka akewajiban membayar upahnya pada waktu berakhirnya
pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad sesudah berlangsung dan
tidak disyaratkan mengenai pemabayaran dan tidak ada ketentuan penangguhannya,
menurut Abu Hanififah wajib diserahkan upahnya secara berangsur sesuai dengan
manfaat yang diterimanya, menurut Imam Syafi’I dan Ahmad, sesungguhnya ia
berhak dengan akad itu sendiri. Jika Mu’jri
menyerahkan zat benda yang disewakan kepada Musta’far,
jika berhak menerima bayarannya karena penyewa (musta’jir) sudah menerima kegunaan.
Hak
menerima Upah bagi musta’jir adalah
sebagai berikut.
-
Ketika pekerjaan selesai dikerjakan, beralaskan
kepada hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah, Rasulullah SAW, bersabda:
“Berikanlah upah sebelum keringat
pekerja itu kering”
-
Jika menyewa barang, uang sewa diserahkan ketika
akad sewa, kecuali bila dalam akad ditemukan lain, manfaat barang yang
diijarahkan mengalir selama penyewaan berlangsung.[9]
b. Menyewakan Barang
Sewaan
Musta’jir dibolehkan menyewakan lagi barang
sewaan kepada orang lain dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan
penggunaan yang dijanjikan kepada akad, seperti penyewaan seekor kerbau, ketika
akad dinyatakan bahwa kerbau itu disewa untuk membajak sawah, kemudian kerbau
tersebut disewakan lagi dan timbul Musta’jir
kedua, maka kerbau itupun harus digunakan untuk membajak pula.
Harga penyewaan yang kedua ini dibebaskan, dalam
arti boleh lebih besar, lebih kecil, atau seimbang.
Bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka
yanga bertanggung jawab adalah pemilik barang (Mu’jir) dengan syarat kecelakaan itu bukan kelalaian Musta’jir. Bila kecelakaan atau
kerusakan benda yang disewakan akibat kelalaian Mus’ta’jir maka yang bertanggung jawab adalah Musta’jir itu sendiri.
c. Pembatalan dan
Berakhirnya Ijarah
Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut:
-
Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi
pada tangan penyewa.
-
Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah
menjadi runtuh dan sebagainya.
-
Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan.
-
Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, masa yang telah
ditentukan dan selesainya pekerjaan.
-
Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah
satu pihak, seperti menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang
mencuri, maka ia diperbolehkan memfasakhkan sewaan itu.
-
Pembatalan Akad.[10]
d. Jenis Ijarah
-
Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu
memperkerjakan jasa seorang dengan upah sebagai imbalan jasa dan disewa pihak
yang memperkerjakan disebut “Mustajir”. Pihak pekerja “ajir” dan upah yang
dibayarkan disebut “ijarah”.[11]
-
Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset, atau
properti, tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa. Bentuk ini
mirip dengan leasing (sewa-menyewa). Pihak yang menyewakan (lessor)/ mu’jir dan
biaya disebut ujrah.
Ijarah yang pertama banyak diterapkan
dalam pelayanan jasa perbankan syari’ah, semnetara ijarah kedua bisa diterapkan
sebagai memperkerjakan.
e. Ketentuan Ijarah
1) Ketentuan objek ijarah
a. Objek ijarah adalah
manfaat dari penggunaan barang atau jasa dalam kontrak.[12]
b. Pemenuhan manfaat harus
nyata dan harus sesuai dengan syari’ah
c. Manfaat harus dikenali
secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah yang akan
mengakibatkan sengketa.
d. Spesifikasi manfaat
harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya, bisa juga dikenali
dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
e. Sewa adalah suatu yang
dijanjikan dan dibayar nasabah kepad lembaga keuangan syari’ah sebagai
pembayaran manfaat sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat
pula dijadikan sewa dalam ijarah.
f. Pembayaran sewa boleh
berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan objek kontrak.
g. Flexibelity dalam
menentukan sewa dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
2) Kewajiban lembaga
keuangan syari’ah dan nasabah dalam pembiayaan ijarah
a. Kewajiban LKS sebagai
sewa:
a) Meyediakan asset yang
disewakan
b) Menanggung biaya
pemeliharaan asset
c) Penjamin bila tidak
cacat pada asset yang disewakan
b. Kewajiban nasabah
sebagai penyewa
a) Membayar sewa dan
tanggung jawab untuk menjaga keutuhan asset yang disewa serta menggunakan
sesuai dengan kontrak
b) Menanggung biaya
pemeliharaan asset yang sifatnya ringan, jika asset yang disewakan rusak, bukan
karena pelanggaran penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian
pihak sewa dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan
tersebut.[13]
6.
Rusaknya Sewa Menyewa
a. Meninggalkan salah satu
dari orang yang menyewa dan menyewakan, tidak berakibat batalnya akad
sewa-menyewa. Akad akan batal apabila barang sewaannya rusak dan tidak dapat diambil
manfaatnya lagi. Hal ini kalau barang yang disewa itu tertentu pada waktu akad
itu terjadi.[14]
b. Menyewa barang-barang
dalam tanggung jawab seorang seperti menyewa mobil yang dinaiki untuk pergi ke
Bandung dan jakarta, akan tetapi manfaat dari segi kemampuan mobil tersebut
untuk mengangkut orang lain dari tempat ketempat yang ditentukan.
c. Apabila barang sewanya
sewaktu digunakan tiba-tiba rusak, maka penyewa harus menggantinya, karena
kelengahan.
7.
Pengembalian Barang
Sewaan
Jika ijarah telah berakhir, penyewa
berkewajiban mengembalikan barang sewaan, jika barang itu dapat dipindahkan, ia
wajib menyerahkannya kepada pemiliknya, dan jika bentuk barang sewaan adalah
benda tetap (‘Iqar), ia wajib
menyerahkan kembali dalam keadaan kosong, jika barang sewaan itu tanah, ia
wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong tanaman, kecuali bila
ada kesulitan untuk menghilangkannya.
Mazhab Hambali
berpendapat bahwa ketika ijarah telah
berakhir, penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian
mengembalikan untuk menyerahterimakannya, seperti barang titipan.[15]
8.
Hikmah Mensyari’atkan
Sewa-Beli atau Upah –Mengupah
Syari’at
memerintahkan adanya ijarah itu, karena ia menolong sesama manusia. Mereka
membutuhkan tempat diam, pelayanan sebagian atas yang lain, kendaraan untuk
ditunggangi dan untuk membawa barang-barang, tanah untuk ditanami, dan
alat-alat yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan penghidupan mereka.[16]
C.
Kesimpulan
Ijarah berarti
sewa, jasa atau imbalan, yaitu akad dengan yang dilakukan atas dasar suatu
manfaat dengan imbalan jasa. Secara bahasa, namun secara secara istilah umrah
adalah suatu jenis akad yang dengan pada hakikatnya ijarah adalah perjalanan
manfaat atau pemindahan hak atas suatu barang dan jasa dalam waktu tertentu
melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang
itu sendiri. Adapun jenis ijarah yaitu:
1.
Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa
2.
Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset
Penjelasan
ijarah ini harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dan dasar hukum ijarah
ini terdapat pada Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat : 233.
Jika ijarah telah berakhir, penyewa
berkewajiban mengembalikan barang sewaan, jika barang itu dapat dipindahkan, ia
wajib menyerahkannya kepada pemiliknya.
Syari’at
memerintahkan adanya ijarah itu, karena ia menolong sesama manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Ghazaly, Abdul
Rahman dkk. 2012. Fiqh Muamalat.
Jakarta: Kencana Media Grup.
Masyhur,
Kahar. 2004. FIKIH SUNNAH Sewa menyewa Koperasi (Terjemah dan ulasan seperlunya), Jakarta:
Kalam Mulia.
Suhendi, Hendi.
2002. Fiqih Muamalah. Jakarta: Raja
Grafindo persada.
Syafe’i, Rahmat.
2001. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka
Setia.
Umar, Anshori.
2008. Fiqih Wanita. Semarang: CV.
Asy-Syika.
[1] Drs. H. Kahar Masyhur, FIKIH SUNNAH Sewa menyewa Koperasi (Terjemah
dan ulasan seperlunya), Jakarta:
Kalam Mulia, 2004. h. 1
MGM National Harbor Casino Ownership & Ownership
BalasHapusMGM National Harbor, located in East Lake Charles, owned by the Washington 김천 출장샵 Post. Since its opening 의왕 출장샵 in 울산광역 출장마사지 1996, the 구미 출장샵 Harrah's Casino has had 문경 출장안마